Dokter Lintas Batas

urlApa ada yang pernah dengar tentang Médecins Sans Frontières (Doctors Without Borders) atau yang lebih dikenal dengan singkatannya yaitu MSF? Itu adalah organisasi kemanusiaan medis internasional independen yang memberikan bantuan darurat bagi masyarakat yang terkena dampak konflik bersenjata, epidemi, orang-orang yang tidak mendapatkan layanan kesehatan serta korban bencana alam.

Organisasi tersebut awalnya didirikan oleh sekelompok dokter Perancis, yang sekarang sudah menjelma menjadi salah satu organisasi kemanusiaan raksasa. Diperkirakan sekitar 30 ribu orang terlibat didalamnya pada saat ini bukan hanya dokter, tapi juga pekerja kesehatan baik relawan lokal maupun non lokal di lebih dari 60 negara, dengan budjet lebih dari 400 juta dolar pertahun.

Film dokumenter Living in Emergency: Stories of Doctors Without Border, mengikuti perjalanan dari empat orang dokter relawan yang bekerja untuk MSF. Mereka adalah Chris Brasher dari Australie, Chiara Lepora dari Italia, Davinder Gill dari Australia, dan Tom Krueger dari Amerika Serikat. Mereka berempat ditugaskan di Kongo dan Liberia.

11125298_800Pada awal saat film baru dimulai, saya mengira akan melihat tentang kisah dramastis tentang para pahlawan kemanusiaan ini dan betapa menderitanya masyarakat setempat. Ternyata tidak sepenuhnya benar. Film ini lebih memperlihatkan motivasi dari para dokter, dan bagaimana mereka bertahan menghadapi hari demi hari.

Chiara Lepora menganalogikan pekerjaannya dengan sebuah kisah kecil saat seorang dokter sedang berada di suatu tempat, lalu terjadi kecelakaan di situ. Pada situasi tersebut, seorang dokter memiliki semacam kewajiban sosial untuk membantu.

Yaa, kalo ogah bantuin diem-diem pergi juga nggak ada yang nyalahin kali, ya..

Nah, menurut Chiara, bekerja di MSF itu bagaikan kita dihadapkan oleh sebuah kecelakaan yang maha dahsyat! Satu negara kecelakaan! Pada saat itu, bukan hanya korban betebaran, tapi keadaannya juga acak-acakan.

Bayangkan seorang dokter muda berusia duapuluhenam tahunan dia harus diterjunkan ke suatu wilayah yang semrawut, sendirian, dan harus mampu mengepalai tim relawan kesehatan di sana. Itu yang terjadi, dan itu alasannya mengapa dari ribuan dokter yang melamar ke MSF setiap tahun, hanya segelintir orang yang diterima dan lebih sedikit lagi yang berhasil melewati masa tuasnya yang pertama kali.

Dokter Davinder Gill dan Tom Kruegger baru pertama kali diterjunkan kedalam misi darurat untuk jangka waktu 6 bulan. Bagaimana perjanjiannya, setelah enam bulan, para dokter ini akan dipulangkan dan diberi pilihan apakah akan ikut lagi untuk enam bulan selanjutnya, atau tidak. Davinder memilih untuk tidak lanjut lagi, sementara Tom Krueger dengan mantap menyatakan kesediaannya.

Dokter Davinder Gill

Dokter Davinder Gill

Davinder Gill yang ditugaskan di Foya, salah satu daerah titik konflik Liberia, merasa frustasi. Dokter muda yang nampaknya berdarah India ini seakan tidak peduli oleh pesien-pasiennya. Atau mungkin justru sebaliknya. Gill menyatakan bahwa pertama kali dia kehilangan pasien, dia merasa terpukul sekali. Maka dia memilih untuk tidak terlalu ambil pusing lagi jika pasiennya meninggal dunia.

Mungkin Gill ini orangnya rada-rada perfeksionis kali, ya.. Karena memang nampaknya, segala permasalahan yang bikin ini orang ruwet adalah hal-hal yang (menurut gua) sepele, deh.. Misalnya masalah sarung tangan yang musti diirit sampe setelah dipakai harus dicuci lagi, atau jumlah obat-obatan yang dikirim tidak sesuai dengan jumlah pesanannya. Sebagaimana orang-orang perfeksionis, kalau ada yang tidak sesuai standar dia, yaudahlah dia jadi kecewa dan ujung-ujungnya, sama sekali tinggal!

Yailah, namanya juga kerja di negara yang lagi perang kale, cuy!!

Chiara Lepora yang bertidak sebagai koordinator relawan agak terheran-heran dengan permasalahan Davinder. Menurut Kiara, melepaskan emosi itu penting, dan butuh. Baaimanapun dia berkeliling salah satu tugasnya untuk ‘mendengarkan curhat’, tapi emosi Davinder itu pada hal-hal yang tidak tepat. Itu bukan salah MSF.

Dokter Tom KruegerSementara itu, Tom Krueger lebih siap untuk menghadapi permasalahan yang mungkin ada. Sebab utamanya usia. Tom tidak semuda rekan-rekannya. Tom merasa sangat tidak suka dengan sistem kesehatan di negaranya yaitu Amerika Serikat yang menurutnya rumah sakit hanyalah perusahaan yang mencari keuntungan. Dia ingin pergi jauh dan melakukan hal-hal lain tapi toh tidak bisa karena dia memiliki keluarga. Memiliki tanggungjawab. Karena itu, dia menunggu sampai 20 tahun (mungkin sampai anak-anaknya gede, kali, ya..) untuk akhirnya bergabung ke MSF dan menjadi dokter relawan di negara miskin, hal yang sudah sangat lama dia dambakan.

Ini orang mah tenang aja menikmati kesibukannya dengan segala kekurangan yang ada. Sampai saat harus mengamputasi kaki orang pake benang piano! Asik ajaaaa, hehe..

Dua dokter yang juga diceritakan bukan lagi orang-orang baru. Chiara Lepora dan Chris Brasher bisa dibilang senior, walaupun mereka masih terlihat muda, dan karena itu lebih santai dalam menghadapi permasalahan.

Dokter Chiara Lepora

Dokter Chiara Lepora

Chiara, satu-satunya dokter cewek, kayak kepala sekolah aja gitu. Dia bukan hanya kepala tim di RS Mamba Point, rumah sakit darurat gratis yang didirikan oleh MSF, tapi juga koordinator dari dokter-dokter relawan. Salah satu tugasnya yaitu mengunjungi setiap dokter yang menjadi tanggungjawabnya, dan memberikan dukungan termasuk dukungan moral.

Saya agak terkejut tentang betapa apa adanya keadaan diperlihatkan. Salah satunya, hal yang gak pernah saya lihat sebelumnya di film apalagi film dokumenter adalah adegan seorang dokter merokok. Ini malahan dokter Chiara sambil diwawancara asik aja ngudut gitu. Atau saat dia mengatakan bahwa orang yang sedang bertugas di daerah konflik butuh sex lebih banyak daripada normalnya. Ya karena kita kan harus menghadapi lima, tujuh, sepuluh kematian perhari, sementara sex itu kehidupan.

Dokter Chris Brasher

Dokter Chris Brasher

Orang terakhir sekaligus yang mukanya keliatan paling semrawut adalah Chris Brasher. Dari awal Chris menyatakan bahwa motivasi seseorang bergabung menjadi relawan itu banyak. Salah satunya adalah karena ingin melarikan diri dari hidupnya. Dia termasuk kateori tersebut. Sebab, setiap kali masa tugasnya enam bulan habis, dan dia pulang, dia merasa semakin terasing di negaranya sendiri. Jadi dia pergi lagi. Dan sekarang, dia bilang, dia adalah seorang gelandangan. Tidak punya rumah di manapun.

Berbeda dengan tiga rekannya yang lain, situasi yang dihadapi oleh Chris jauh lebih mencekam. Dia selalu ditugaskan titik konflik terbuka. Terkadang suara tembakan terdengar sampai ke rumah para dokter MSF di situ (atau mungkin memang diarahkan ke situ), dan setiap kali itu terjadi, para dokter segera menutup pintu dan diam di dalam sampai besok paginya. Dia juga menyatakan bahwa para dokter relawan menghadapi todongan senjata atau tembakan dari pasukan-pasukan yang bertikai. Baik itu todongan langsung dibelakang kepala, atau peluru-peluru yang diarahkan kepada mereka. Dan setelah sembilan tahun, Chris menyatakan bahwa dia sudah tidak sanggup lagi. Misinya di Kongo itu adalah misi yang terakhir kali.

msf41590_access_to_the_danger_zone

Konon, butuh enam bulan untuk produser meyakinkan MSF mengenai pembuatan dokumenter ini. Sebelumnya ada sekitar 25 perusahaan ingin membuat film tentang para relawan MSF yang ditolak. Entah apa alasannya, namun salah satu kebijakan MSF adalah tidak ikut campur, atau penyinggung negara tempat bertugas. Karena jika ada kejadian seperti itu, maka yang terjadi selanjutnya mereka akan diusir dari negara tersebut. Yang sebenernya juga sih, lah kan yang rugi negara yang bersangkutan, dong, ya.. Bukan MSF.

Ada hal-hal yang sempet bikin saya nyengir karena sedikit banyak, juga ikut mengalami. Ini masalah, yah, mungkin wajar, lah, ya.. Manusia kadang gak pernah puas.

 

Tinggalkan komentar