Buku 2014 I: Dari JK Rowling ke Nh. Dini

Jadi ceritanya, awal tahun 2014 saya sok-sok-an gitu pengen ikutan reading chalange-nya Goodreads. Yaaa, masalahnya juga saya emang demen baca, hanya saja beberapa tahun belakangan ini, jumlah buku yang saya baca rasa-rasanya berkurang. Tentu saja karena kesibukan kerjaan jadilah kecepatan saya menghabiskan buku bacaan menyurut tajam. Pun sebenernya ikutan reading chalange ini bukan juga buat mem-push diri saya, tapi pengen tahu dan bikin catatan sebenarnya berapa buku sih yang berhasil saya baca dalam jangka waktu satu tahun?

Buku bacaan, loh, ya.. Buku yang saya baca karena kesenangan saja. Tapi kalau bahan bacaan, sih, kayaknya sama saja banyaknya. Tapi gak gitu menyenangkan misalnya buku-buku pelajaran sekolah (Apa asiknya itu?) atau diktat kuliah, lghhhhhh…. Itu, kan, karena musti aja, ya, kan?

Baidewei, saya mencoba menuliskan target akan bisa menyelesaikan 40 buah buku bacaan—yang menyenangkan tidak termasuk dua majalah yaitu National Geography dan Cinemags setiap bulannya —sepanjang tahun 2014. Ternyata hanya mampu menyelesaikan 32 buku saja. Masih ada hutang delapan buku, cuy…

Ini adalah daftar buku yang dapat saya selesaikan sepanjang tahun 2014. Saya tulis sesuai dengan urutan saya menyelesaikannya, bukan urutan saya mulai membacanya.

1. The Cuckoo’s Calling karya Roberth Galbraith alias JK Rowling.

Buku ini sudah saya tuliskan review-nya di sini.

Saya mengambil buku ini hanya karena penasaran itu kenapa si JK Rowling bikin buku pake nama pena etapi semua orang tahu? Apa jadi kayak Mary Westmakott-nya Agatha Christie?

Buku ini menjadi buku yang paling tebel tapi paling cepet saya selesaikan.

2. Membuka Tirai Kegaiban: Renungan-Renungan Sufistik karya Jalaludin Rachmat.

Sama dengan buku yang pertama, buku ini saya ambil karena siapa pengarangnya. Saya salah satu penggemar karyanya Kang Jalal. Dulu semasa kuliah di Universitas Padjadjaran, saya selalu mengikuti kuliah-kuliah umumnya beliau. Tetapi sama dengan perkuliahan beliau, saya jauh lebih menikmati pembahasan-pembahasan beliau mengenai teori-teori psikologi komunikasi atau filsafat daripada pembahasan agama beliau. Menurut saya, beliau adalah orang yag bisa menjelaskan teori filsafat dengan lebih mudah, namun membuat agama menjadi rasanya ruwet sekali, hehe…

3. The God of Small Things karya Arundhati Roy

Ini adalah buku yang saya baca ketiga kalinya pada tahun 2014. Pertama kali membacanya, waduh, saya juga gak inget. Saya kira, saya sempat membaca buku ini saat masih SMA di toko buku langganan, namun tidak selesai. Keburu diusir penjaga toko, hihi… Kemudian saya lanjutkan pada masa saya kuliah. Tapi karena waktu itu saya mendapatkan buku ini dengan cara menyewa yang harga sewanya mencapai 1000 rupiah per hari, maka yaudahlah saya membacanya cepat-cepat agar segera dipulangkan kembali.

Mahal, bok!

Hey, saya masih kuliah waktu itu! Satu-satunya tambahan uang selain uang saku dari ibu saya yang cuma cukup buat makan doang itu dari kerja keras nerjemahin artikel dan makalah dari mahasiswa-mahasiswa yang malas dan itupun cuma dibayar tiga sampai lima ribu rupiah per halaman.

Tapi sebuah buku bagus biasanya akan terus teringat dalam benak saya dengan harapan suatu hari nanti, kalau saya sudah kerja, sudah bisa cari uang, saya akan membelinya. Tapi ternyata urusan membeli pun agak susah dilakukan kalau bukunya menghilang dari pasaran. Barulah pada tahun 2014, saya mendapatkan buku ini kembali.

Buku ini menceritakan apa yang terjadi di dalam sebuah keluarga yang dari luar terlihat sebagai keluarga yang utuh dan harmonis. Sangat menghancurkan hati menyimak dari halaman pertama hingga pada akhirnya. Membaca berbagai review, saya kira pembaca akan terbagi antara orang-orang yang memberikan lima dari lima bintang—yang artinya keren sekali—atau yang hanya memberikan satu bintang. Bahkan, kalau ada minus bintang dikasih minus bintang, dah! Beberapa yang menyatakan bahwa buku ini salah satu buku terburuk yang pernah ditulis. Saya sendiri ikutan kelompok yang memberikan lima bintang: sempurna!

4. Lupus: Tragedi Sinemata karya Hilman

Percaya atau enggak, ini buku Lupus pertama yang saya baca. Itu juga gara-gara sahabatku Ulil yang selalu memuja-muja serial Lupus setinggi langit. Saya kira, saya tidak ikut terseret masa-masa demam Lupus. Saya ingat sepupu saya si Mae Ali dan almarhum kakaknya seru membaca Lupus saat saya masih sekolah di Taman Kanak Kanak. Nah, pada masa saya sekolah menengah, saya udah keburu membaca Agatha Christie, hehe…

5. Southern Mail karya Antoine de Saint Exupery

Idih, nama pengarangnya susah bener, yak!

Buku iniiiiiiiiiiiii….. Memecahkan rekor sebagai buku terkecil dan tertipis yang pernah saya baca sekaligus yang terlama saudara-saudara! Meni ribet pisan, lah! Bikin kepala saya nyut-nyutan kadang! Dan ini buku saya mulai baca sesungguhnya pada awal tahun 2012! Amit-amiiiit!

Kalau dibilang susah banget, yah, emang iya sih! Kalo dibilang kurang megangin, jugaaaa…. Ya, intinya, beda banget, dah dengan Le Petit Prince-nya yang sangat menyenangkan itu!

Buku ini bisa dbilang adalah curahan hatinya Exupery sebagai seorang pilot pesawat pos yang bertugas antara Paris-Dakkar. Bagaimana suka dan dukanya atau rasa kesepian yang sering menghinggapinya. Well, kita terbiasa melihat sosok seorang pilot itu dengan segala kekerenannya (Sebenernya, ada gak sih pilot yang gak ganteng?), tapi, yah, adik saya adalah seorang pilot AD yang amat suka berkisah pengalaman-pengalamannya. Dan terkadang, pengalaman-pengalaman itu bikin kita meringis juga mendengarnya. Percaya, deh, gak selalu menyenangkan! Ditambah dengan seringnya kecelakaan-kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di Indonesia kita yang tercinta ini.

6. The Secret of Chimney karya Agatha Christie

Saya mulai curiga bahwa kelemahan Agatha Christie adalah saat beliau menulis kisah spionase atau skandal politik internasional. Ada bukunya yang mengenai spionase yang membuat beliau jadi dipanggil oleh dinas rahasia Inggris, M or N judul bukunya kalau tidak salah, hehe… Beliau tidak sengaja membongkar rahasia negara. Ya, tapi selain itu, agak-agak membosankan dan terlalu mudah ditebak. Termasuk buku ini…kegampangan!

 

7. Sampar karya Albert Camus

Jadi gini, saya punya kawan baik yang merupakan blasteran Perancis-Indonesia dan dia sedang belajar bahasa Indonesia. Nah, gara-gara dia belajar Bahasa Indonesia, saya jadilah ikut-ikutan belajar Bahasa Perancis. Maka saya coba bacalah buku tersebut. Daaaan…

Duileh, baru halaman pertama saja rasanya kepala saya udah berdenyut-denyut. Makin ke bawah, makin pengen muntah rasanya. Haduuuuuh, itu siapa sih psikolog yang waktu saya ikutan psikotest pas SMA dulu yang bilang kecerdasan saya menonjol di bidang linguistik, hayo, sapa ngakuuuuu!!!!

Boro boro!!

Akhirnya, seperti kebiasaan kalau saya menyerah angkat tangan grak saat membaca, buku itu saya lempar ke pojok kamar, kemudian terlupakan. Beberapa tahun kemudian, tahun 2014, saya berhasil juga menuntaskan buku tersebut, horrray!!

Tapi versi yang Bahasa Indonesianya terjemahan Ibu Nh. Dini… *nunduk*

Lah, apa kerennya kalau begitu doing, mah! *nangis Bombay garuk-garuk dinding*

8. Third Girl karya Agatha Christie

Okeh, dari karya-karyanya Agatha Christie, saya paling suka jika ada dua pasangan. Pasangan yang pertama yaitu suami-istri Tommy dan Tuppance Beresford, pasangan yang kedua adalahHercule Poirot dan Adrianne Oliver. Dan kisah Gadis Ketiga ini adalah kasus yang ditangani oleh Hercule dan Adrianne.

Jadi ceritanya si Hercule didatangi cewek ABG gitu, deh. Nah, si cewek ini tadinya mau minta tolong Hercule mengenai suatu permasalahan. Tapiiiii, pas lihat gimana sih bentuknya Pak Hercule Poirot ini, langsunglah si cewek ABG—yang nampaknya kalo jaman sekarang pasti alay, dah—mengurungkan niat. Alasan yang dikemukakan cukup bikin Poirot rada terhenyak: dia terlalu tua, sih, hehe…

Tapi, untung ada Adrianne yang orangnya sama uniknya dengan Hercule itu. Adrianne meminta agar Poirot menangani kasus si cewek ABG tersebut. Adrianne curiga, si cewek ABG ini tanpa sadar membunuh dua orang pada saat dia dipengaruhi LSD. Namun, pada saat Poirot mulai mendalami kasus, mulailah beberapa ketidaksingkronan ditemukan antara kisah si cewek dengan hasil otopsi yang digelar.

9. La Grande Borne karya Nh. Dini

Ada beberapa pengarang yang saya gemari karena ide-ide dan pendapatnya, contohnya Karen Armstrong, namun ada juga pengarang yang saya gemari karyanya karena cara beliau menulis karya tersebut namun sekaligus tidak begitu setuju atau bahkan sama sekali tidak setuju dengan pendapatnya. Nh. Dini dan Nawal el Saadawi adalah contoh yang kedua.

Seperti biasa, membaca karya Nh. Dini itu lebih banyak nikmatnya. Saya sih merasakan seperti membaca sebuah karya dengan alunan kata yang dipertimbangkan secara matang oleh sang penulis. Namun pada akhir karya ini, saya memutuskan untuk akan menyisihkan karya-karya Nh. Dini yang masuk kategori Kisah Kenangan kecuali tiga buku yang menceritakan masa kecil beliau yang duluuuuu banget pernah saya baca (kayaknya waktu SD itu) tapi saya baru memiliki yang pertama saja. Kisah kenangan selanjutnya, jika ketemu lagi, mungkin nanti-nanti sajalah saya baca suatu saat. Bukan apa-apa, rasanya jadi ikutan sesak ngebaca kisah konflik rumah tangga yang berkepanjangan gitu!

*sigh*

Ya tapi, mungkin juga saya merasa sumpek membaca buku ini karena saat itu saya berada dalam karantina untuk ujian sertifikasi guru.

NB: Suka banget covernya. Fave saya sejauh ini dari karyanya Nh. Dini.

10. Love in the Kingdom of Oil karya Nawal el Saadawi

Ampun, dah! Ini adalah karya Nawal el Saadawi yang saya begitu susah payah membacanya. Tumben! Tapi nampaknya memang begitulah karya-karyanya Nawal, ada beberapa kisah yang kita begitu sulit melepaskan diri darinya, ada kisah-kisah yang kita begitu sulit menggamitnya.

Novel ini berjenis satir. Nah, tumben, kan? Biasanya Nawal menulis sesuatu dengan gaya yang langsung, menyengat, berapi-api yang menurut saya kadang jatuhnya jadi kocak. Gak malu-malu bagaikan petinju yang terus menerus melancarkan jab-jabnya ke ulu hati lawan. Tapi kali ini, beliau menulis dengan gaya surelis. Anda tahu apa itu artinya? Yuuuuup, kepala nyut-nyutan!

Tapiii, saya berhasil menyelesaikannya! Alhamdulillahirrobbil alamiiin!!!

11. Kumpulan Cerpen: Dua Dunia karya Nh. Dini
12. Kumpulan Cerpen: Monumen karya Nh. Dini
13. Kumpulan Cerpen: Pencakar Langit Nh. Dini
14. Kumpulan Cerpen: Istri Konsul karya Nh. Dini

Saya senang dengan diterbitkannya kembali beberapa bukunya Ibu Nh. Dini. Kebanyakan (eh bukan kebanyakan tapi semuanyaaaa) karya Nh. Dini yang saya punya adalah buku-buku yang saya kumpulkan dari lapak-lapak buku-buku bekas dikitaran Jakarta dan Bandung. Semuanya asli, loh, ya. Gak ada yang buku bajakan, tetapi buku bekas. Itu artinya, seberapa mahal pun harganya (dan buku-bukunya Nh. Dini itu emang tipis tapi mahal, cuy) ya tetep aja penulisnya sendiri gak mendapatkan keuntungan. Saya tidak mengeluh dengan mahalnya harga buku jika menurut saya pantas, tapi saya maunya harga yang mahal itu memang memberikan keuntungan pada sang penulis, bukan keuntungan pada si pedagang buku yang mungkin gak punya penghargaan atas karya tersebut.

Eniwey, mengetahui beberapa buku Nh. Dini dicetak ulang, segara saja saya membeli kembali, walaupun tetep saja yang saya pajang di rak buku saya edisi yang lama. Soalnya, kecenderungan saya sih selalu suka dengan cover yang lama daripada yang terbaru, hehe… Dan lagi, semakin lusuh suatu buku, saya semakin suka!

Yah, namanya juga lulusan Ilmu Perpustakaan. Kalo kata Agatha Christie, suami arkeolog itu terbaik sebab semakin tua istrinya, semakin suka dia. Maka mungkin bagi pustakawan, semakin lusuh dan bau apek sesuatu itu semakin menarik.

Postingannya nyambung ajalah. Kepanjangan!

 

2 pemikiran pada “Buku 2014 I: Dari JK Rowling ke Nh. Dini

  1. Ping balik: Buku 2014 II: Dari Haruki Murakami sampai Jonas Jonasson | Teacher's Notebook

  2. Ping balik: Buku 2014 II: Dari Haruki Murakami sampai Jonas Jonasson | Buku, Film, dan Hidup

Tinggalkan komentar