Lompatan Jauh ke Depan

‘Makan di kantin,’ kata Ketua Regu, sambil melambaikan tangan. ‘Dusun sudah dibikin kantin. Wajan sudah dihancurkan, siapa pun tak perlu lagi masak di rumah. Kalian semua hemat tenaga, supaya kita semua bersama berlari menuju komunisme. Kalau kalian lapar cukup angkat kaki berangkat ke kantin sana. Mau ikan, mau daging, semua boleh makan sekenyang-kenyangnya sampai mati.’

Sambil baca tulisan di bawah ini, cobalah sekalian browsing dengan kalimat yang saya tuliskan menjadi judul dan lihat apa yang ada di hasilnya. Yep, bencana kelaparan paling parah yang melanda manusia yang tercatat pada abad ke-20. Angkanya tentu tidak kompak tergantung kepentingan masing-masing yang mencari data.

Pemerintah Cina mengatakan bahwa jumlah korban mencapai 21 juta jiwa, sementara ada pihak yang mengatakan bahwa korban mati karena kelaparan mencapai 70 juta jiwa. Namun, dari banyak data, yang sering keluar adalah bahwa korban tewas dalam waktu beberapa tahun itu saja mencapai lebih dari 45 juta jiwa. Sebagian besar dari mereka mati kelaparan, kelelahan, dan dikubur hidup-hidup karena ketahuan mencuri makanan.

Pertama kali saya mengetahui tentang bencana kelaparan di Cina akibat ‘Lompatan Jauh ke Depan’ itu sekitar 15 tahun yang lalu saat saya membaca sebuah buku di perpustakaan yang berisi beragam fakta menarik di dunia. Di situ dituliskan, bencana kelaparan terparah yang tercatat adalah pada suatu masa pemerintahan Mao Zedong, rakyat Cina terpaksa harus menjadi kanibal. Bahkan sebelum mati, terkadang seseorang sudah mewanti-wanti anak-anaknya agar memakan bagian yang ini darinya, dan yang itu. Mayat-mayat, atau anak kecil yang sudah tidak sanggup bergerak lagi dijual dan dipertukarkan untuk dimakan keluarga yang lain.

Pada tahun 2010, Frank Dikotter, seorang ahli sejarah menulis buku berjudul Mao’s Great Famine: The History of China’s Most Devastating Catastrophe, 1958–62. Buku ini mengulas tentang apa yang terjadi dibalik politik ‘Lompatan Jauh ke Depan’ yang digagas oleh pemimpin besar Cina yang sampai sekarang masih di elu-elukan, Mao Zedong.

Beberapa hari yang lalu, saya membaca buku berjudul To Live karya Yu Hua. Buku yang bergambar cover sederhana dan sangat tidak menarik ini ternyata membuat saya menangis semalaman (Eh, kalian tahu bedanya meleleh dengan menangis, kan?) dan benar-benar tak dapat diletakkan sampai halaman terakhir.

Meeen!!!

Besok paginya gw bangun dengan mata sembab! Udah kayak abis dimarahin emak aja!

Membaca kisah tentang perihnya kelaparan memang selalu membuat saya merasa diguyur gelombang dingin dan getir.

Dari seorang anak tuan tanah kaya yang menghabiskan waktu di meja judi dan ranjang pelacur, Fugui kehilangan harta dan orang-orang yang dicintainya. Dia berusaha bertahan hidup di tengah kekejaman perang saudara, absurditas Revolusi Kebudayaan, Hingga bencana kelaparan yang melanda China akibat kekeliruan kebijakan Mao. Kisah tragis kehidupan seorang Fugui merangkum kengerian perjalanan sejarah negeri China di tengah hingar-bingar revolusi komunis.

Okey, seperti saya kutip diatas, buku ini mengisahkan tentang perjalanan hidupnya Fugui, anak seorang tuan tanah. Sebagai anak orang kaya, Fugui tidak pernah merasakan kesulitan. Dia anak satu-satunya, lelaki pula, maka sejak mbrojol pun dia sudah mendapatkan banyak keistimewaan.

Semasa kecil, ini anak sudah dikatain akan tumbuh menjadi bajingan oleh gurunya, maka setelah dewasa dia hanya tahu dua hal: judi dan main pelacur.

Fugui jatuh cinta pada pandangan pertama oleh Jiazhen (di film diperankan oleh Gong Li), seorang puteri dari pedagang beras kaya, cantik, sederhana, dan sangat setia (Men, itu si Fugui berbuat kebaikan apa di kehidupan sebelumnya bisa dapetin cewek kayak gitu, ya?), mereka menikah dan dikaruniai sepasang anak yang penurut dan berbakti pada orangtuanya, Fengxia dan Youqing. Tapi, tentu saja, pernikahan tidak membuat Fugui menjadi lebih ‘jinak’, tidak ada seorangpun yang sanggup menghentikan Fugui pergi ke tempat pelacuran dan main judi. Bahkan istrinya yang sedang hamil tua pun dengan teganya digebukin tanpa ampun, dilempar, dan disuruh berjalan kaki pulang ke rumah sepanjang 10 li (lebih dari 5 kilometer).

Doyan judi dan bodoh tentu saja bukan sebuah formula yang baik. Hanya dalam waktu 6 bulan, Fugui kehilangan seluruh kekayaannya. Betul-betul habis..bis.. Keluarga ini pun pindah dari rumah mereka yang besar ke sebuah gubuk kecil beratap jerami dijepit kemiskinan dan kelaparan sampai nafas terakhir mereka semua, satu per satu mati mengenaskan.

Tentu kehidupan itu naik dan turun, namun Fugui dan keluarganya pun ditambah musti diterjang ketidakpastian yang dilahirkan oleh politik pemerintah mereka saat itu. Dia bagaimanapun masih untung, tuan tanah yang mengambil alih seluruh kekayaan masih baik hati memperbolehkannya tinggal di gubuk dan bahkan menyewakan tanah sebesar 5 li untuk keluarganya. Fugui dan istrinya yang sepanjang hidup tidak pernah bekerja sekarang harus banting tulang menyobek-nyobek telapak tangan siang dan malam hanya untuk sekedar bisa makan.

Beberapa saat kemudian, pemerintah komunis China mengeluarkan kebijakan untuk merampas semua kekayaan—termasuk tanah–para tuan tanah, dan membagi-bagikannya kepada rakyat. Para tuan tanah ini kemudian diseret ke pengadilan rakyat dan dihukum mati. Untunglah Fugui bukan tuan tanah lagi.

Nah, Fugui itu sial atau untung sebenernya, ya?

———————–
Kita tahu bahwa pada awal kepemimpinan Mao kehidupan memang terlihat lebih membaik. Beberapa saat kemudian, Mao Zedong dan Joseph Stalin pemimpin Uni Sovyet menjalin kerjasama sekaligus saling mendendam persaingan yang tajam. Uni Sovyet akan memberi hutang untuk China membangun industri baja yang akan dibayar dengan beras dan gandum. Inilah awal dari bencana sosial China.

Dengan alasan untuk memudahkan mobilisasi rakyat—selain itu Mao Zedong juga ketakutan nanti para petani berontak—maka seluruh tanah dirampas dan dijadikan hak negara. Semua uang diambil dan dikumpulkan menjadi milik desa. Semua barang berupa besi atau mengandung besi—termasuk ketel dan sebagainya—dihancurkan untuk dilebur dijadikan baja. Tidak boleh ada yang masak lagi karena dapur umum disediakan. Tiap hari dari subuh sampai matahari terbenam, semua orang bekerja di ladang, termasuk ibu-ibu yang memiliki anak balita. Semua anak yang belum bisa bekerja diasuh oleh negara. Setelah matahari terbenam, baru mereka diminta ke kantin untuk mengambil makanan.

Ini cara komunis, men! Semua untuk sama-sama, menurut teorinya. Gak ada yang namanya kesenjangan sosial lagi. Senang sama-sama, nanti pada saatnya, kelaparan pun sama-sama dan tidak ada yang sanggup menolong siapapun.

Tapi kalo dibilang sama-sama pun tidak juga. Karena pada saat itu diberlakukan sistem poin. Poin tertinggi 10. Kalo perempuan paling tinggi hanya dapat 7. Itu tentu sesuai dengan apa yang bisa mereka kerjakan. Poin ini akan berpengaruh dengan makanan yang bisa mereka ambil. Tidak punya point, yang tidak dapat makan. Ini artinya, banyak rumah-rumah yang anggotanya mulai kekurangan makan karena mereka harus berbagi dengan anggota yang tidak dapat poin sama sekali: para orangtua, anak-anak kecil, perempuan hamil, mereka semua gak dapat poin. Ditambah mulai banyak yang menjadi gelandangan karena rumahnya harus dihancurkan untuk membangun tempat peleburan baja.

To Live

Dua ahli sejarah yang mencoba menelusuri Chinna masa kelaparan besar

Dalam film documenter berjudul Mao’s Great Famine, Mao pada saat ini menyuarakan apa yang disebutnya ‘Politik Seribu Bunga’, sebuah gerakan budaya. Lucunya, gerakan budaya ini diawali dengan menangkapi orang-orang yang dianggap paling mungkin untuk memobilisasi rakyat menentang Mao: para guru. Tercatat antara 500 ribu sampai satu juta guru ditangkap dan diseret ke tahanan yang disebut ‘kamp pendidikan lagi’–mungkin karena para guru ini ndableg gak ngerti kalo komunisme bakal bikin makmur. Di kamp ini, mereka semua mati kelaparan.

vlcsnap-2015-07-21-19h37m56s157

Para guru yang dihukum mati

Nah, setelah Pol Pot yang membantai seluruh dokter dan guru pada hari pertamanya berkuasa, sekarang Mao Zedong juga bisa dibilang sama aja, maka jangan heran kalo orang pertama yang mungkin menentang paham komunisme itu guru!

*sigh*

Saya cukup paham, bahkan sedikit simpatik, dengan keinginan Mao untuk segera melunasi hutang kepada Stalin, tapi dampaknya luarbiasa. Dan yang membuat simpatik saya yang sedikit itu lenyap, Mao sudah tahu apa yang akan terjadi kemudian.

Seluruh hasil panen diambil untuk bayar hutang agar cepat lunas menyebabkan desa-desa habis-habisan bangkrutnya. Iklim di China tidak seperti di kita yang bisa nanem sepanjang tahun, selepas panen, datanglah musim dingin bersalju yang mencekam. Dari yang awalnya makan nasi, kemudian bubur sesekali—seringnya pada gak makan—kemudian sup beras (Sebelumnya saya pernah menuliskan di tulisan tentang masa berkuasa Pol Pot di Kamboja. Sup beras yang dimaksud adalah air yang direbus bersama beberapa butir beras saja).

Setelah habis semuanya, maka dedaunan pun habis dimakan, satu ubi dimakan sampai tiga keluarga, akar-akan pohon, kayu bahkan kuburan saja dibongkar untuk diambil kayu peti matinya, serangga, bahkan lumpur dan tanah ikut dimakan juga.

Banyak yang dilaporkan tewas karena makan tanah yang begitu sampai ke perut ternyata menggumpal menyobek-nyobek usus dan lambung.

Musim tanam selanjutnya, bencana semakin berlanjut. Pemerintah yang maunya semua seragam memerintahkan agar bibit ditanam jauh ke dalam tanah, namun jaraknya berdekatan. Idenya, itu akan membuat produksi meningkat. Semua orang juga diperintahkan untuk membunuh burung yang merupakan hama. Akibatnya, gagal panen masal karena padi dan gandum tidak dapat tumbuh (jaraknya terlalu dekat jadi berebut nutrisi) ditambah serangan serangga yang mematikan baik bulir maupun bahkan batangnya gak busuk. Serangga meraja lela tentunya karena burung-burung dimusnahkan semua.

Suatu kali, saya menonton film documenter tentang kelaparan di Leninggard saat tentara Jerman dikepung Uni Sovyet. Foto semua orang di situ tersenyum! Tahu kenapa? Kata ahli sejarah saat itu, mereka tersenyum bukan karena dipaksa Nazi tersenyum, tapi karena kelaparan. Pada suatu titik ketika kelaparan sudah sampai masa kritis, seluruh otot kita kejang menyebabkan wajah membentuk senyuman. Itu tanda saat lapar sudah amat sangat tak tertahankan.

Pada saat gagal panen sebelumnya saat masa feodal, kaisar dan para tuan tanah wajib membagikan makanan kepada rakyatnya. Tapi pada masa komunis, pemerintah sama sekali tidak membantu, justru memberikan perintah agar tidak ada seorangpun yang keluar dari desanya masing-masing. Rakyat sudah tidak mampu lagi berjalan, hanya tinggal bergelimpangan di atas tanah begitu saja sampai ajal. Sementara itu di beberapa tempat, khususnya daerah pariwisata, sengaja dibikin tanda-tanda keberlimpahan sehingga setiap turis yang datang ke China bersumpah bahwa negara ini sedang jaya-jayanya.

Ada artikel dari seorang politisi asal Perancis, Francoiss Mitterand, yang menginformasikan bahwa China saat ini sedang mengalami kemajuan yang pesat dan bahwa Mao Zedong bukan ditaktor malahan sangat pemurah. Tentu sang journalist itu tidak tahu bahwa pada saat yang sama, ada anak kecil yang dikubur hidup-hidup karena tertangkap mencuri makanan.

Sebenernya, apa sih yang membuat periode singkat antara tahun 1958-1962 bisa menghancurkannya?

Ini semua tidak lain hanya karena obsesi dari dua pemimpin negara yang sama-sama tidak mampu memandang secara realistis. Joseph Stalin dengan sombongnya menyatakan bahwa dalam waktu 15 tahun, negaranya akan bisa mengalahkan Amerika Serikat. Mengetahui itu, Mao Zedong pun sesumbar bahwa dalam waktu 15 tahun, dia akan mampu memimpin China melebihi kemakmuran Inggris.

Yaaa, lompatan jauh ke depan nyusruk jurang!

Ironisnya, pada akhirnya, sekarang China memang mengalami lompatan jauh ke depan. Bukan dengan system komunis, tapi justru dengan sistem kapitalis yang sebelumnya mereka benci. China sudah sejajar dengan Inggris. Bahkan Amerika Serikat yang sombong itu juga mulai mengakui bahwa ada ancaman China akan menggantikan mereka sebagai negara adi daya.
——-
Kembali ke kisah To Live, saya kira sama dengan buku First They Killed My Father karya Loung Un (saya sudah pernah membuat tulisannya di sini), yang membuat kisah ini begitu menguras air mata adalah bahwa sang penutur kisah sama-sama digambarkan sebagai orang yang tak berdaya. Bukan tak berdaya yang menyedihkan meratap-ratap begitu, tapi Loung Un yang memang masih kecil dan Fugui yang bodoh adalah dua makhluk polos terombang-ambing keadaan namun masih tetap mampu menyalakan api kecil harapan bahwa pada suatu hari nanti, keadaan mungkin akan membaik.

Memang ada bagian-bagian awal saat Fugui mengisahkan dia suka main pelacuran dan judi, namun tidak digambarkan tentang prilaku hubungan sex. Jadi saya kira, buku ini bisa dibaca anak-anak. Penuturannya sederhana, penerjemahannya memakai bahasa yang mudah. Hanya agak ribetnya, ini buku tidak dipisah-pisah secara bab. Jadi, mungkin itu juga kenapa saat saya mulai membaca, tidak dapat saya letakkan lagi.

Sedikit informasi, buku ini dilarang beredar di China, namun mendapatkan banyak penghargaan internasional. Pada tahun 1994, buku ini diadaptasi film dengan pemeran utama Gong Li. Sempat masuk nominasi Oscar namun tidak menang. Sama seperti bukunya, filmnya pun dilarang beredar di China.

Berbeda dengan bukunya, versi film layar lebar jauh lebih ‘terang’ dibanding bukunya. Seting kisah juga dirubah di perkotaan dan bukan di pedesaan,dan masalah kelaparan nyaris tidak dibahas. Fugui bukanlah seorang petani, tapi seorang seniman pemain boneka (semacam wayang gitulah) dan istrinya bekerja sebagai tukang jual air panas. Film jelas-jelas terlihat lebih memihak kepada Mo Zedong dengan merubah tokoh Erxi, menantu Fugui, menjadi seorang perwira partai dan bukan kuli bangunan seperti yang ada di buku. pada akhir kisah, jauh-jauuuh lebih hepi ending. Namun, walaupun berbagai macam perubahan itu–Yu Hua sendiri yang menulis naskah filmnya–tetap saja film tidak dapat beredar di China

Yu Hua

Yu Hua

Sumber:

-Novel To Live karya Yu Hua

-The Great Famine, film dokumenter karya Zhou Xun

-https://en.wikipedia.org/wiki/Great_Chinese_Famine

-https://en.wikipedia.org/wiki/Great_Leap_Forward

Satu pemikiran pada “Lompatan Jauh ke Depan

  1. Pelajaran berharga bagi saya melalui kisah ini adalah bahwa sebuah lompatan yang ingin kita lakukan, haruslah didahului dengan perhitungan yang matang dan rasional, bukan emosional..

    Apa kabar, Cikgu? Selamat Idul Fitri ya… Mohon maaf lahir dan batin.. 🙂

Tinggalkan komentar