No One Left Behind

Ini tentang peraturan. Tentu bukanlah peraturan yang biasa digalakan di sekolah dasar. Tapi mengenai disiplin dari sekolah-sekolah tertentu. Sekolah berasrama.

Pada suatu hari saya masuk asrama, dan saat itu saya mulai belajar untuk tidak hanya maju sendirian, tapi secara kolektif. Beberapa peraturan saat pertama membuat saya heran setengah mati. Bahwa kita, bisa saja kena hukuman atas apa yang tidak kita lakukan. Kamar kita ditemukan ada sampah misalnya pada lewat jam tidur saat inspeksi bagian keamanan asrama atau langsung oleh majelis guru. Entah siapapun yang luput membuang sampahnya hingga masih tergeletak pada saat itu, atau siapapun yang giliran piket hari itu, semua penghuni kamar kena getahnya. Semua penghuni kamar dihukum bersama-sama. Itu salah satu contoh.

Bagaimana saat salah seorang anggota kamar kita tertangkap bagian bahasa karena tertangkap baik tertangkap tangan maupun tercatat jasus (mata-mata) karena bicara tanpa menggunakan dua bahasa yang diperbolehkan (yaitu bahasa inggris dan bahasa arab), maka bisa kita semua kena getahnya. Sebab orang itu akan menjadi jasus selain ada hukuman yang lainnya. Yaaa, mau gak maulah satu kamar bête semua karena mendadak ada perpanjangan tangan bagian bahasa langsung di dalam kamar.

Peraturan semacam itu rasanya sungguh tidak adil minta ampun. Bukan salah kita tapi kenapa kita juga ikut kena getahnya? Tapi satu hal yang saya pelajari kemudiannya adalah bahwa kita bisa saja kena masalah hanya karena kita berada pada satu tim yang salah satu anggotanya bikin masalah. Kita dipaksa bukan hanya menjaga diri kita sendiri, tapi juga menjaga rekan-rekan kita. Memperingati mereka. Kita dipaksa untuk selalu memperhatikan sekeliling kita. Dan tentu saja memberi bantuan kepada rekan yang membutuhkan. Apakah dia meminta atau bahkan tidak. Apakah dia senang atau malah marah-marah. Dan tentu saja, kita juga dipaksa untuk diingatkan bahwa kita pun harus mau untuk diingatkan. Sebab jika kita berbuat salah, berbuat nakal, maka bukan hanya kita yang kena getahnya. Tapi seluruh teman-teman, yang seharusnya ada di pihak kita, bisa ikut terseret masalah juga.

Ini hanya sekedar kisah.

Adik bungsu saya saat ini tinggal di sekolah berasrama dengan model semi militer. Saat ini dia sedang mengalami masa-masa berat yang mungkin bagi kita disebut ‘peloncoan’ atau hanya ‘penyesuaian’. Sekolah itu menyebutnya sebagai masa binsik. Bina fisik. Dan memang, kalau mendengar kisah-kisah yang dia kemukakan, seakan segala-galanya, pada saat ini, berhubungan dengan fisik. Bagaimana dia harus lari entah berapa kilometer per hari jika kita iseng menghitung-hitung jumlah putaran lapangan dan jarak setiap putaran itu, berapa puluh kali push-up, sit-up, down-up, entahlah. Jelasnya dia berkisah bahwa push-up dan segala macamnya itu tidak dihitung perkali lakukan, tapi per seri. Satu seri-nya berjumlah sepuluh kali. Jadi saat dia di suruh push-up, maka dia hanya diberi tahu bahwa dia harus push-up lima seri, misalnya. Hitung sendiri, lah, berapa kali itu.

Membelalakan mata bukan?

Dia berkisah mengenai kawannya yang agak kegemukan dan hanya dalam waktu dua bulan saja, berat badannya susut sebanyak 12 kilogram.

*gelengkepala

Adik saya?

Well, karena adik saya masuk ke golongan yang kurang berat badan, maka kita pun rada pangling saat dua bulan kemudian pertama kali melihatnya sudah agak gemukan dikit. Ya, yaaa… Ini bukan sekedar dipaksa bergerak, tapi gizi juga diperhatikan. Walaupun di dalam sekolah ada minimarket, namun semua yang dijual disitu diperhatikan kadar gizi dan kesehatannya. Apalagi siswa masa binsik ini pun gak boleh megang duit. Uang tentu saja dikirim oleh masing-masing orangtua langsung ke rekening waliasuh (walikelas) masing-masing, dan sang waliasuh yang membelanjakan uang tersebut demi kepentingan anak-anak didiknya yang tentu saja laporan penggunaannya pun dilaporkan kepada masing-masing orangtua murid. Maka gak bikin heran saat para siswa pada awalnya protes berat. Mereka tidak dikirimkan gula pasir, atau gula pasir yang dikirim orangtuanya lenyap pada perjalanan (kirim barang hanya ke waliasuh tidak bisa langsung ke siswa),berganti dengan madu atau sari kurma. Dan harus bisa menggunakan itu sebagai penggantinya. Mereka tidak pernah diberikan cokelat, bahkan jika ditemukan cokelat atau chicki atau cemilan gak jelas lainnya, itu akan segera dirampas (sebelum masuk ada geledah sampai buka seluruh pakaian segala). Cemilan tentu saja tetap ada (ini anak-anak remaja yang tentu gak bisa hidup tanpa snack), tapi itu semua adalah snack-snack yang dianggap aman dan baik untuk mereka. Mereka bahkan tidak diberikan susu yang biasa ditemukan yang sudah diganti dengan susu yang aman dan menunjang kegiatan mereka: lebih banyak protein, rendah gula dan karbohidrat.

Dipaksa diet, hehehe…

Bagaimana megenai makan regular?

Well, sudah tidak ada lagi tolerir mengenai pemilihan makanan. Kecuali kalau memang alergi, maka apa yang ada kudu wajib dihabiskan. Saya bicara mengenai sayur dan buah yang tentu tidak semua anak remaja mau menyentuhnya. Well, mereka makan di ruang makan dengan meja yang diatur sedemikian rupa. Tidak dapat memilih. Itu artinya mereka makan dengan kakak kelas dan guru pula. Tidak dihabiskan yang ada diatas meja, yah, siaplah kena hukuman yang saat dikisahkan rasanya bikin kita merinding mendengarnya.

Salah satu contoh adalah saat teman semeja adik saya nekad ogah makan sayur bayam hanya karena dia tidak suka . Maka satu meja kena getahnya pula. Hukumannya, ngeri, bok! Mereka dikasih nampan yang berisi nasi, sayur, lauk, es buah, serta susu bubuk yang diaduk-aduk jadi satu dan dipaksa untuk menghabiskannya. Jika ada yang muntah, maka muntahan itu diletakkan kembali ke dalam nampan kemudian diaduk jadi satu dan mereka pun kudu menyantapnya.

Iyuuuuuh…

Gimana enggak kapok, tuh!

Tapi bagaimanapun, seperti kata Sang WA, ini sekolah semi militer. Semua aturan toh kita sudah tahu sebelum memasukinya. Jadi terima atau pergi.

Namun jangan salah, tetap diawasi kok oleh para dokter dan sejauh yang kami tahu pun tidak ada main tangan sama sekali di sana. Tidak ada pukulan atau tendangan atau penghinaan mental. Pemeriksaan kesehatan dilakukan pada setiap minggu di sana bersamaan dengan cukur rambut J

Bicara mengenai makanan, saya jadi teringat pada salah satu film documenter yang pernah saya saksikan. Salah satu adegannya diperlihatkan mengenai satu sekolah di US yang tadinya penuh dengan begundal-begundal remaja. Kemudian program kesehatan masuk ke sana. Seperti keajaiban, prilaku agresif siswa berkurang secara signifikan yang kemudian diikuti dengan meningkatnya daya kosentrasi dan nilai pun beranjak naik. Padahal mereka hanya merubah satu hal saja: menu makanan. Tadinya acakadul gakjelas kemudian lebih diperbanyak sayur, buah, dan protein. Dihilangkan segala karbohidrat gila-gilaan serta gula yang menumpuk tinggi. Soda adalah terlarang masuk ke dalam sekolah. Apalagi junkfood-nya. Itu saja. Tapi perubahan sudah jelas terlihat.

Maka kita adalah apa yang kita makan itu benar nampaknya.

Ingat dengan kutipan dari film Lean On Me: Jika kita memberi makan mereka (siswa) dengan sampah, maka mereka akan berperilaku seperti sampah!

Sama seperti sekolah saya dulu, dan bahkan lebih lagi, kekolektifan itu diberlakukan. Satu orang bikin masalah maka satu angkatan bisa kena getahnya. Entah berapa kali dia ikutan kena hukum saat satu orang entah siapa melanggar peraturan. Pernah pula adik saya bikin geram satu angkatan saat dia tertidur di kelas. Ini dianggap wajar, tertidur, mengingat beratnya kegiatan fisik mereka. Tentu saja anak-anak lelah. Guru pun mengerti. Kesalahan adik saya adalah saat dia dibangunkan, dia bukannya langsung bangun dan minta maaf kepada guru yang mengajar, namun terlonjak sambil mengumpat keras kepada sang guru dengan kata-kata umpatan yang tidak pantas diucapkan oleh siswa kepada gurunya. Tidak seperti di tempat yang lain saat satu anak bikin kesalahan dan yang lain menertawakan, alih-alih mereka semua diam tegang dan minta maaf kepada guru yang bersangkutan. Maka kosekuansinya, satu angkatan kena jemur di lapangan selama beberapa saat (adik saya hanya mengatakan itu lama) pada selepas pelajaran hari itu berakhir.

Dan bonusnya, dia mendapatkan tatapan mendelik dari setiap orang satu angkatannya hari itu.

Hari itu semua anak mendapat pelajaran baru: saat kawan tertidur, segera bangunkan. Siapapun dia, siapapun orang yang disebelahnya.

Salah satu adik saya yang lain yang memang dia adalah seorang penerbang di TNI AD hanya nyengir mendengar kisah ini. Katanya, ya, sama saja seperti di akademi militer. Juga seperti itu. Satu orang bikin onar, maka satu angkatan bisa kena getahnya. Satu orang nilainya jatuh maka satu angkatan mengulang semua. Mau gak mau bukan kita menjaga teman kita? Mau gak mau kita ikut repot saat salah satu rekan tidak mengerti pelajaran. Bahkan adik saya yang ini berkisah lebih ngeri lagi. Saat ujian terbang terakhir kali, hanya dua pilihan yang mereka punya: lulus semua atau gagal semua. Jika lulus semua maka semuanya diangkat menjadi perwira penerbang. Tapi jika satu orang saja gagal, maka satu angkatan gagal dan hanya menjadi bintara saja.

*tepar!

Saya terbengong-bengong dan garuk kepala mendengarnya.

Tapi gak heran juga, sih, ya, kalo dalah kehidupan militer. Satu orang bikin kesalahan, semua bisa celaka. Satu orang lepas kosentrasi satu detik saja, satu pesawat kena akibatnya bertaruh nyawa. Satu orang abai, satu pasukan bisa musnah.

Maka dua bulan adik saya masuk sekolah tersebut, memang sudah dapat terlihat perubahannya. Satu hal yang kami lihat adalah dia tidak lagi melawan ibu atau kakak-kakaknya. Tentu yang namanya anak pastilah suka membantah juga. Setelah dua bulan digembleng di sana seakan ada dua pilihan yang dia tahu: patuh atau diam. Memberikan alasan yang masuk akal dengan tanpa mengajak debat dan gerutu sana ke sini. Dan pada saat anak memberikan alasan yang masuk akal dengan tenang dan terkendali, orangtua manapun akan lebih bisa menerimanya. Bahkan jika tidak sependapat dengannya.

Salah satu hal lain yang kami perhatikan adalah dia berubah sangat peduli dengan rekannya. Mungkin sekedar kenal setiap orang di angkatannya bukanlah satu kejutan, tapi bahwa dia rela untuk pergi mencari-cari alamat sang kawan hanya untuk membantunya mengerjakan tugas liburan rada bikin kita keheranan. Akrab enggak teman sekelas juga bukan. Hanya bahwa dialah yang dihubungi sang kawan dengan alasan bahwa dialah yang rumahnya berada paling dekat dengannya.

Mendengar kisah-kisah yang diucapkannya banyak juga memberi pandangan baru kepada saya. Tentu bukan berarti saya akan menerapkannya di kelas. Toh, ini kan sekolah militer saya juga tahu diri. Tapi semangat kebersamaannya itu. Kembali, sekali lagi, mengingatkan saya bahwa maju itu berarti tidak ada yang ditinggalkan di belakang.

Tidak dilupakan.

2 pemikiran pada “No One Left Behind

  1. Mudah2an di luar aturan yang ada, anak-anak didik di sekolah itu tetap mendapat pelajaran sosialisasi di luar komunitasnya saat ini. Ini penting sebab nantinya mereka juga harus berbaur dengan beragam komunitas lain di luar asrama. Menjadi rahasia umum, sekolah demikian sangat solit solidaritas antarmereka, namun sungguh tidak boleh terlupakan bahwa di luar asrama ada berbagai kelompok masyarakat dengan berbagai latar belakang dan karakter yang tentu tidak memiliki karakter yang terbentuk dari asrama yang semi militer itu. Singkatnya, jangan sampai ketika keluar dari asrama, mereka jadi kuper dan kurang peka akan lingkungan yang lebih beragam dan “bebas”.

    🙂 Salam,

    Mochammad
    http://mochammad4s.wordpress.com
    http://piguranyapakuban.deviantart.com

Tinggalkan komentar